Tampilkan postingan dengan label laga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label laga. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Juni 2012

Perjuangan Part 3

. . .
"Kau begitu hebat. Ajari aku agar bisa sehebat dirimu" pintaku.
"Percayalah kawan. Kau pun bisa hebat tanpa harus menjadi seperti
diriku" katanya.
Kata-katanya sungguh membuatku nyaman berbincang bersamanya. Ia selalu
mengatakan hal benar dan bijak.
Tak terasa bulan sudah berada di arah barat. Itu artinya pasukanku
harus kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju sektor sebelas
melewati daerah yang biasa kami sebut "Pasar Setan". Konon daerah itu
adalah tempat berkumpulnya para dedemit di hutan itu. Tapi kami tak
percaya meskipun sudah banyak saksi mata yang berkata pasar setan itu
ada. Kemunculan pasar setan ditandai dengan terdengarnya suara
gamelan. Jika suara gamelan terdengar jangan coba mendekat karena
konon apabila mendekat, maka sebenarnya kita berjalan menuju jurang
yang curam. Tapi karena tugas, kami tetap meyakinkan di hati bahwa
pasar setan itu tak ada.
Resiko sudah ditanggung, tak ada kata menyerah walaupun bertaruh
nyawa. Kami tetap kesana dengan peralatan yang lebih lengkap. Dengan
pasukan yang sudah berkurang jumlahnya kami tetap nekat. Karena
prinsip kami lebih baik mati terhormat daripada lari jadi pecundang
selamanya. Bersambung . . .

Kamis, 07 Juni 2012

Perjuangan Part 2

. . . Akhirnya setelah lama mereja menatapku. Regu Macan 2 berlalu ke
arah selatan. Mereka menuju ke Sektor 15. Mengingat Sektor 15 adalah
daerah yang aman, aku tugaskan pasukanku menuju ke sana untuk
beristirahat. Ini berarti pasukanku harus melakukan perjalanan 2 kali
sebelum sampai ke Sektor 11. Pertama ke arah selatan. Lalu dilanjutkan
jalan memutar lewat barat. Karena pasti musuh akan melakukan patroli
di area sekitar pertempuranku tadi. Dan, kupikir pasukan patroli itu
diambil dari Base yang terletak dekat Sektor 11. Mungkin langkah yang
kuambil adalah langkah yang tepat.
Sampai di sektor 15 aku menemui pasukan macan 2 yang sedang terluka.
Jumlahnya sekitar 8 orang. 5 orang terluka dan yang lain berjaga. Di
sana juga kulihat peti berisikan banyak sekali peluru dan granat.
Lantas, aku suruh pasukanku mengambil beberapa.
Walaupun aku lapar, aku tak mau membuat api. Karena musuh akan
mengetahui posisi kami. Dan aku sadar itu berbahaya. Akhirnya ku makan
saja ubi dan tumbuh-tumbuhan yang kuambil tadi. Langkah yang tepat
menurutku.
Sembari istirahat aku melihati Raden Progo dengan terkagum-kagum. Ia
sedang mengasah pisau kesayangannya. Sadar aku perhatikan daritadi.
Raden Progo menoleh ke arahku. Aku langsung terlihat kikuk. Ia hanya
tersenyum.
"Apa yang kau lakukan tadi adalah tindakan bodoh." ia berkata dengan
senyuman di wajahnya.
"Kau tak marah? Kenapa kau malah tersenyum?" aku keheranan.
"Itu sudah terjadi. Buat apa disesali" jawabnya dengan bijak.
"Aku merasa sangat bersalah. Aku tak bisa memimpin pasukan sehebat
dirimu" kataku.
"Hahaha. Jangan merendah. Pasti ada alasan kau jadi pemimpin" katanya.
"Tapi aku merasa bersalah pasukanku banyak yang mati" rengekku.
"Mati itu takdir Yang Kuasa. Kita tak tahu kapan giliran kita"
jawabnya. Bersambung . . .

Perjuangan Part 1

Suara tembakan beriringan di sekelilingku. Aku pun hanya bisa
bersembunyi dan melihat kejadian itu. SS1-R5 pun tak ada gunanya tanpa
peluru. Bayonet yang terpasang pun juga tak berguna dalam situasi
seperti ini. Aku hanya punya sebuah lagi granat. Saat itu aku
merasakan aku hanyalah sampah. Aku ketua regu yang bodoh karena
terlalu banyak membuang-buang peluru. Aku seringkali panik ketika
reguku ditembaki oleh pasukan musuh. Aku tak bisa mengendalikan diri
kala itu. Terlebih ketika aku melihat Sudarto kehilangan nyawanya di
depan mataku. Mungkin pasukan yang ku pimpin kecewa sekali saat itu.
Saat aku meratapi kebodohanku, tiba-tiba kudengar suara tembakan yang
lebih beringas menembaki musuh. Itu adalah regu Macan 2 yang terkenal
ketangguhannya dan muncul secara tiba-tiba ketika regu lain digempur.
Raden Progo kulihat dengan gagah memimpin pasukannya. Lalu kulihat
pasukan melemparkan beberapa megazine ke arahku. Langsung saja
kutancapkan ke senjataku dan mulai mengarahkannya ke musuh. Namun, aku
terlambat. Pasukan Macan 2 telah menang telak. Tak ada musuh yang
hidup. Seketika itu aku malu. Aku malu kepada pasukanku sendiri karena
tak bisa memimpin dengan benar.
Kulihat juga Raden Progo menatapku. Seraya berkata megazine itu hanya
sedikit, jadi berhematlah. Seketika itu pun juga aku menjadi kikuk.
Anak buahku memandangku dengan pandangan yang aneh. Mereka sepertinya
kecewa terhadapku. Kini jumlah mereka tinggal 20 yang semula 28. Aku
tambah malu lagi ketika regu macan yang membantuku hanya 15 orang.
Bersambung . . .