Ketika aku melihat tempat itu seakan aku melihat monumen cinta. Di situlah hampir setiap hari kami menghabiskan waktu dengan beberapa teman kami. Saling bertukar pikiran dan saling bertukar mimpi ingin menjadi apa kami di kemudian hari. Namun masih teringat di pikiranku walaupun di sana banyak sekali orang berbicara ketika aku melihat dia seolah batin kami sedang melakukan percakapan pribadi. Hanya dengan lemparan senyumku dia bisa mengetahui apa yang aku bisikan kepadanya. Pun arti senyum balasannya. Dialog kami berdua bukan sekedar dialog semata. Dialog tingkat tinggi yang hanya bisa dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Hanya aku dan dia yang bisa menangkap dan menerjemahkan dan saling berbalas.
Aku berjalan mendekati tempat itu. Memandangi barang-barang kenangan sisa perjuanganku dahulu. Lemari usang tempat aku sering menyimpan pakaian, kompor gas yang tak pernah dipakai, papan tulis dengan dua spidol dan satu penghapus di sampingnya. Pikiranku kembali ke memori masa lalu ketika aku melihat sebuah proposal tergeletak. Aku masih ingat bagaimana kita berunding cukup lama untuk merencanakan suatu kegiatan, menghitung estimasi dana yang akan kami ajukan, juga susunan acara yang kami buat agar tidak membosankan. Tentunya semangatku juga karena ada dia yang menemani. Namun, bukan hanya kejadian suka yang aku alami. Justru pertengkaran hebat kami berawal dari sebuah proposal. Mungkin karena rasa egoisku yang sering aku tonjolkan membuat dirinya geram hingga sempat memarahiku.