Suara tembakan beriringan di sekelilingku. Aku pun hanya bisa
bersembunyi dan melihat kejadian itu. SS1-R5 pun tak ada gunanya tanpa
peluru. Bayonet yang terpasang pun juga tak berguna dalam situasi
seperti ini. Aku hanya punya sebuah lagi granat. Saat itu aku
merasakan aku hanyalah sampah. Aku ketua regu yang bodoh karena
terlalu banyak membuang-buang peluru. Aku seringkali panik ketika
reguku ditembaki oleh pasukan musuh. Aku tak bisa mengendalikan diri
kala itu. Terlebih ketika aku melihat Sudarto kehilangan nyawanya di
depan mataku. Mungkin pasukan yang ku pimpin kecewa sekali saat itu.
Saat aku meratapi kebodohanku, tiba-tiba kudengar suara tembakan yang
lebih beringas menembaki musuh. Itu adalah regu Macan 2 yang terkenal
ketangguhannya dan muncul secara tiba-tiba ketika regu lain digempur.
Raden Progo kulihat dengan gagah memimpin pasukannya. Lalu kulihat
pasukan melemparkan beberapa megazine ke arahku. Langsung saja
kutancapkan ke senjataku dan mulai mengarahkannya ke musuh. Namun, aku
terlambat. Pasukan Macan 2 telah menang telak. Tak ada musuh yang
hidup. Seketika itu aku malu. Aku malu kepada pasukanku sendiri karena
tak bisa memimpin dengan benar.
Kulihat juga Raden Progo menatapku. Seraya berkata megazine itu hanya
sedikit, jadi berhematlah. Seketika itu pun juga aku menjadi kikuk.
Anak buahku memandangku dengan pandangan yang aneh. Mereka sepertinya
kecewa terhadapku. Kini jumlah mereka tinggal 20 yang semula 28. Aku
tambah malu lagi ketika regu macan yang membantuku hanya 15 orang.
Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar